Sabtu, 11 Juni 2011

“PERKEMBANGAN JIWA BERAGAM PADA MASA DEWASA



















KATA PENGANTAR

        Segala puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT, atas perkenannya juga makalah tugas mandiri saya Psikologi Agama arkhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
        Makalah saya ini dibuat hanya untuk membantu dalam proses belajar mengajar perkuliahan agar berjalan dengan baik, hingga juga boleh siapa saja yang membacanya, mengingat kurangnya makalah yang saya bahas ini dan dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat dan terbatas.
        Sebab itu saya sadar bahwa masih banyak kekurangannya dengan baik hati saya mohon maaf, sekalipun untuk menyempurnakannya yang akan datang, demi perbaikan pada makalah selanjutnya.
        Akhirnya saya penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak atas terwujudnya makalah ini.
        Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat khususnya bagi mahasiswa STAI Auliaurrasyidin, serta para pembaca pada umumnya dimana saja berada.

Tembilahan, 25 Desember 2010
Penulis,


LITA PRITIWI



DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................      i
Daftar Isi ..........................................................................      ii
BAB I     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...............................................     1

BAB II   PEMBAHASAN
              PERKEMBANGAN JIWA BERAGAM PADA
              MASA DEWASA
A.    Pengertian Dewasa dan Ciri-ciri Kedewasaan ...     2
B.    Karakteristik Sikap Keberagamaan Pada Masa
     Dewasa .........................................................     4
C.    Kriteria orang yang Matang dalam Beragama ..     5
D.   Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa
     Dewasa .........................................................     8

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ....................................................     9

Daftar Pustaka









BAB I

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan jiwa beragama pada masa dewasa.












BAB II

PERKEMBANGAN JIWA BERAGAM

PADA MASA DEWASA


A.   Pengertian Dewasa dan Ciri-ciri Kedewasaan
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.[1]
Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:[2]
1.    Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.

2.    Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.

3.    Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam system syaraf, perubahan penampilan.




B.   Karakteristik Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki cirri sebagai berikut:[3]
1.    Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.    Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.    Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.    Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.    Bersikap lebih terbuaka dan wawasan yang lebih luas.
6.    Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.    Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.

8.    Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan social, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.

C.   Kriteria Orang yang Matang dalam Beragama
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:[4]
1.  Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:[5]
-       Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
-       Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
-       Menyenagi paham yang ortodoks.
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.






2.Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya Religion Psychology adalah:[6]
-       Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
-      Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
-         Menyenagi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadaian yang ekstrovet maka mereka cenderung;
1)    Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kakuk
2)    Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3)    Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
D.   Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;
1.    Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambildengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
2.    Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
3.    Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.











BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.
Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.















DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama,….
Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007


[1] Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 105
[2] Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal. 83
[3] Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 107- 108
[4] Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 124
[5] Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama,…. hal. 126
[6]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 130

Selasa, 31 Mei 2011

PERKEMBANGAN RASA KESADARAN DAN KEMATANGAN BERAGAMA PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT


BAB I
A. Pendahuluan
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan rasa kesadaran dan kematangan beragama pada orang dewasa dan usia lanjut.
B. Rumusan Masalah          

            Berkenaan dengan batasan masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
   a.Bagaimana menyikapi rasa kesadaran dan kematangan beragama pada orang dewasa dan usia lanjut
b.      Perlunya mengetahui Kriteria-kriteria kesadaran dan kematangan beragama pada orang dewasa dan usia lanjut

C. Tujuan
a.       Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Psikologi Agama
b.      Agar kita dapat menyikapi / mengambil tindakan bagaimana menghargai dan menumbuhkembangkan rasa keberagamaan terhadap orang dewasa dan usia lanjut
c.       Untuk menambah Pengetahuan khususnya bagi kami sebagai penulis dan umumnya bagi kita semua. 


BAB II
PEMBAHASAN

PERKEMBANGAN RASA KESADARAN DAN KEMATANGAN BERAGAMA PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT


1. Macam-Macam Kebutuhan
Menurut J.P. Guilford, terdiri dari:
1. Kebutuhan individual
Pada kebutuhan individual ini semuanya berhubungan dengan kebutuhan jasmani. Kebutuhan ini bergantung pada diri seseorang. Bagaimana dia merawat dan menjaga keseimbangan tubuhnya dalam kehidupannya. Kebutuhan invidual ini terdiri dari:
Ø  Homeotatis (kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan tubuh akan zat; protein, air, garam, mineral, vitamin, oksigen dan lainnya.
Ø  Regulasi temperature, penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperature badan. Pusat pengaturannya berada di bagian otak yang disbut Hypothalsum.
Ø  Tidur, kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar dari gejala halusinasi.
Ø  Lapar, kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh seperti organis.
Ø  Seks, kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan mempertahankan jenis.

2. Kebutuhan Sosial
Kebutuhan social manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulas) seperti layaknya pada binatang. Kebutuhan social pada manusia berbentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan semata-mata kebutuhan biologis melainkan juga kebutuhan rohaniah. Bentuk kebutuhan ini terdirio dari; pujian dan binaan, kekuasaan dan mengalah, pergaulan, imitasi dan simpati, dan perhatian.
3. Kebutuhan Akan Agama
Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Allah membekali manusia itu dengan nikmat berpikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya sebagai imbangan atas rasa takut terhadap kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong manusia tadi untuk untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan membimbingnya disaat-saat yang gawat.[1]
Dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan lainnya, seperti makan, minum, intelek dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu maka dorongan beragama pun menuntut untuk dipenuhi sehingga pribadi anusia itu mendapat kepuasan dan ketenangan. Dorongan beragama juga merupakan kebutuhan insaniah yang tumbuhnya dari gabungan berbagai factor penyebab dari rasa keberagamaan.
Menurut Dr. Zakiah Daradjat, dalam bukunya "Peranan Agama dalam Kesehatan Mental", terdiri dari:
1. Kebutuhan Primer
Yaitu kebutuhan jasmaniah: makan, minum, seks dan sebagainya (kebutuhan ini didapat manusia secara fitrah tanpa dipelajari).
2. Kebutuhan Sekunder
Yaitu kebutuhan rohaniah: Jiwa dan social. Kebutuhan ini hanya terdapat pada manusia dan sudah dirasakan sejak manusia masih kecil.

2. Sikap Keberagamaan Orang Dewasa
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.
Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
- Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
- Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
- Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam system syaraf, perubahan penampilan.
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada usia 60/65 tahun. Usia lanjut dan kematangan merupakan ciri masa akhir orang dewasa. Permasalahan mendasar pada masa ini adalah menemukan kepuasan atas segala hal yang telah dicapai pada hidup yang telah dijalani.
Pada usia lanjut ini, biasanya akan menghadapi berbagai persoalan. Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi atau kurang dihargai.[2]
Karakteristik Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki cirri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.      Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.      Bersikap lebih terbuaka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.      Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan social, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;
1.      Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambildengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
2.      Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
3.      Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.[3]

3. Sikap Keberagamaan Orang Usia Lanjut

Hasil penelitian Neugarten terhadap manusia usia lanjut antara 70-79 tahun menunjukkan 75 persen dari mereka yang dijadikan responden menyatakan puas dengan status mereka sesudah menginjak masa bebas tugas. Sebagian besar mereka menunjukkan aktivitas yang positif dan tidak merasa berada dalam keterasingan dan hanya sedikit yang sudah berada dalam kondisi uzur serta mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, umumnya mereka dihadapkan pada konflik batin antara keutuhan dan keputus-asaan. Karena itu mereka cenderung mengingat sukses masa lalu, sehingga umumnya mereka yang berada pada tingkat usia lanjut ini senang membantu para remaja yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, termasuk sosial keagamaan. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. M. Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Cavan yang mempelajari 1200 orang sampel berusia antara 60-100 tahun. Temuan menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini. Sedangkan, pengakuan terhadap realitas kehidupan akhirat baru muncul sampai 100 persen setelah usia 90 tahun.
Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa pendapat tersebut terlalu berlebihan. Sebab hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kegiatan seksual secara biologis boleh jadi sudah tidak ada, akan tetapi kebutuhan unuk dicintai dan mencintai tetap ada pada usia tua tersebut.
Mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini William James menyatakan, bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia tua, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Agaknya pendapat William James masih banyak dijadikan rujukan dalam melihat kehidupan para tokoh-tokoh agamawan seperti biarawan dan biarawati ataupun para biksu, agaknya korelasi tersebut menampakkan hubungan yang positif. Tetapi, menurut Robert Thouless, dari hasil temuan Gofer, memang menunjukkan bahwa kegiatan orang yang belum berumah tangga sedikit lebih banyak dari mereka yang telah berumah tangga, sedangkan kegiatan keagamaan orang yang sudah bercerai, jauh lebih banyak dari keduanya. Temuan ini menurut Thouless menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan berkorelasi terbalik dengan pemenuhan seksual sebagai sesuatu yang diharapkan bila penyimpangan seksual itu benar-benar merupakan salah satu faktor yang mendorong di balik perilaku keagamaan itu. Salah satu bagian yang paling mencolok mengenai hal itu adalah kecenderungan emosi keagamaan yang diekspresikan dalam bahasa cinta manusia. Hal ini sering terdapat di kalangan para penulis mistik.

Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut

Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, seperti dikemukakan di atas bagaimanapun turut memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan mereka. Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:[4]
1.  Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.  Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan .
3.  Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara seungguh-sungguh.
4.  Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.  Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya
6.  Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan yang abadi (akhirat)

Masalah Keberagamaan Pada Orang Usia Lanjut

Beberapa masalah lain tentu saja dialami oleh para manula. Bagi sebagian besar manula memiliki banyak waktu luang dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan dengan waktu luang tersebut dan hanya sebagian kecil manula yang mampu menggunakan waktu luang tersebut dengan baik, bahkan sebagian diantaranya masih produktif. Kebanyakan waktu luang tanpa pemanfaatan membuat para manula merasa sebagai manusia tidak berguna dan merasa hidupnya tidak bermanfaat, kecewa, depresi, dan rendah diri.[5]
Masalah lain yang dihadapi manula adalah kritikan akan keinginan-keinginan, dan cara mereka dalam banyak hal (bekerja, bergaul, berpakaian). Bagi manula yang tidak memiliki kepribadian yang tangguh, kritikan-kritikan ini akan menjadi penghalang bagi kemajuan mereka, dan membuat mereka semakin tenggelam dalam kekecewaan.
Keadaan yang lebih buruk akan dialami manula yang kemudian berusaha menghapus semua perasaan dan keinginan-keinginannya, karena selama ini perasaan dan keinginan-keinginan itu tidak pernah ditanggapi. Ini akan mengakibatkan depresi dan menghasilkan perilaku-perilaku yang defensif yang berlebihan, misalnya bereaksi secara berlebihan menentang perilaku yang mereka rasa tidak adil.
Seharusnya saat manusia-manusia menjadi lanjut usia, mereka harus dan tetap memiliki peluang untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan mereka, namun hal sebaliknya yang terjadi di masyarakat (terutama Indonesia). Hal ini sangat disayangkan, karena bila mereka tetap diberi ruang dan peluang mereka akan tetap mampu mengembangkan kepribadian dan kemampuan mereka, yang pada akhirnya akan menjadikan hidup mereka lebih sehat (fisik dan psikis) dan lebih bahagia.
Persoalan pensiun yang akan dialami dalam masa tua, merupakan daerah lain yang menuntut persiapan sejak masa dewasa, khususnya setengah baya. Beberapa persoalan yang dihadapi oleh setengah baya akhir atau masa tua karena tidak lagi bekerja meliputi meningkatnya hambatan-hambatan fisik, rasa kesepian, kurangnya kontak sosial, rasa jemu, dan lesu kerja atau tidak aktif, hal itu sangat menyakitkan bagi orang-orang yang biasa bekerja. Tambahan pula keadaan-keadaan tadi tidak jarang meningkat menjadi perasaan tidak berguna, sudah tidak berarti lagi dalam hidup.
Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan, beberapa keluarga juga mengadakan program khusus bagi orang-orang tua mereka yang mendekati masa setengah baya. Dalam hal ini, anak-anak yang “ telah jadi orang” dapat membuat rencana bagi ayah-ibu mereka yang akan memasuki masa tua sehigga mereka dapat menyongsong masa tua dengan penuh ketenangan. Rencana-rencana keluarga itu dapat berupa kegiatan-kegiatan yang diatur oleh anak-anak itu sendiri, atau dapat juga kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu lembaga, apabila mereka mampu membiayainya. Misalnya dengan memasukkan orang tua mereka dalam lembaga atau yayasan penyantunan orang-orang lanjut usia.
Ketakutan akan menjadi tua dan kematian tidak dihadapi oleh para manula yang yakin ketuaan dan kematian pasti akan datang. Hal ini biasanya dialami oleh mereka yang dari usia dini atau setidaknya saat usia muda telah tertanam jiwa keagamaan yang baik. Para manula dalam kategori ini bahkan melakukan persiapan yang matang dalam upaya “kembali pada Tuhan.[6]

4. Perlakuan Terhadap Orang Usia Lanjut Menurut Islam

Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut dibebankan kepada anak-anak merek, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntunan Islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih sayang.
Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang tua, Allah menyatakan:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. Al-Israa’ (17): 23)
Abi Raja’ Al-Athady menyatakan bahwa yang dimaksud dengan uff (ah) adalah perkataan yang keji dan buruk. Uff adalah perkataan yang biasanya diucapkan bagi sesuatu yang ditolak. Menurut Thoha Abdullah Al-Afifi, jika ada perkataan yang lebih buruk dari uff tentulah Allah menyebutkannya. Dan para ulama berpendapat bahwa perkataan uff kepada ibu bapak adalah sesuatu yang paling buruk. Ini menandakan bahwa anak menolak mereka.
Selanjutnya, Al-Quran melukiskan perlakuan terhadap kedua orang tua:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".” (QS. Al-Israa’ (17): 24).
Menurut Ibn Jarir dan Ibn Al-Munzir yang dimaksud dengan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan adalah tunduk kepada kedua orang tua sebagaiman tunduknya kepada tuannya. Pengertian itu memberi kiasan bagaimana seharusnya seorang anak bersikap di hadapan orang tuanya.
Sebagai gambaran tentang hal itu adalah pernyataan Aisyah ra. Tentang bagaimana perilaku anak kepada orang tua, adalah dialog Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah yang bersamamu?” Orang itu menjawab: “Ayahku”. Beliau berkata: “Jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”.
Selanjutnya firman Allah yang menyatakan:
“Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".”
Adalah agar anak memberi perlakuan khusus dengan menghayati bagaimana kedua orang tua mengasihi anak mereka sewaktu masih kecil. Melalui penghayatan yang demikian manusia diingatkan kepada kasih sayang dan susah payah kedua orang tuanya ketika mereka memeliharanya di waktu kecil. Dengan demikian, diharapkan kasih sayang kepada kedua orang tua akan bertambah.
Perlakuan kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai kewajiban agama. Menurut Ibn Abbas, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Barangsiapa membuat ridha kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun mendapat dua pintu surga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah satu di antaranya maka akan terbuka satu pintu surga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat marah kedua orang tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika membuat marah salah satu di antaranya, maka terbuka untuknya satu pintu neraka.”
Bahkan ketika mendengar seorang tua mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati mengadukan bahwa ayahnya mengambil harta miliknya, maka rasul pun bersabda: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.”
Islam mengajarkan bahwa dalam perkembangannya, manusia mengalami penurunan kemampuan sejalan dengan pertambahan usia mereka
“Dan barangsiapa yang kami panjangkan umurnya niscaya kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (QS. Yaasin (36): 68)
Bahwa maksud kami kembalikan kepada kejadiannya, yaitu dikembalikan kepada keadaan manusia ketika ia baru dilahirkan, yaitu lemah fisik dan kurang akal. Menurut As-Shobuny, yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah, bila manusia dipanjangkan umurnya ke usia lanjut, maka ia akan kembali menjadi seperti bayi, yaitu tidak mengetahui sesuatu pun. Watadah juga berpendapat senada, yaitu manusia usia lanjut itu layaknya seorang bayi yang kekuatannya menjadi melemah, hanya secara fisik saja terlihat lebih besar dari bayi.
Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih saying. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun, melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan dipandang durhaka bila seorang anak tega menempatkan orang tuanya di tempat penampungan atau panti jompo. Alasan apa pun tak dapat diterima bagi perlakuan itu.[7]
5. Kriteria Orang yang Matang dalam Beragama
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu.
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap.
Ø  Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
Ø  Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
Ø  Menyenagi paham yang ortodoks.
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya Religion Psychology adalah:
- Optimis dan Gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
- Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.[8]
- Menyenagi Ajaran Ketauhidan yang Liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung;
1. Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kakuk
2. Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3. Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.





















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan jiwa beragama pada masa dewasa.
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, seperti dikemukakan di atas bagaimanapun turut memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan mereka. Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.  Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.  Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan .
3.  Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara seungguh-sungguh.
4.  Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.  Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya
6.  Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan yang abadi (akhirat)
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari masih terdapat kekurangan, kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan dating.


















DAFTAR PUSTAKA

Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, Surabaya: Usaha Nasional, 1983.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Suprayetno, Psikologi Agama, Bandung: Cita Pustaka Media, 2009.
Suprayetno, Psikologi Agama, Bandung: Cita Pustaka Media, 2009.
Sururin. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.





































KATA PENGANTAR

          Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mengenai PERKEMBANGAN RASA KESADARAN DAN KEMATANGAN BERAGAMA PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT, pada materi Psikologi Agama.

Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan jiwa beragama pada masa dewasa.
            Dan dalam hal ini kami berusaha menyajikan yang terbaik sesuai dengan Komitmen kami. Namun dengan demikian kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang tentunya akan sangat berharga bagi kami untuk penyempurnaan isi dari makalah ini kedepannya.
                                                                           

                                                                             Tembilahan,                        2010
                                                                                                

   KELOMPOK III






[1] Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 105
[2] Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal. 83
[3] Ibid, hlm. 107.

[4] Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, Surabaya: Usaha Nasional, 1983, hlm. 241
[5] Ibid, hlm. 242.

[6] Op.cit hlm.108
[7] Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal. 83

[8] ibid

BAB I

A. Pendahuluan
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan rasa kesadaran dan kematangan beragama pada orang dewasa dan usia lanjut.
B. Rumusan Masalah          

            Berkenaan dengan batasan masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana menyikapi rasa kesadaran dan kematangan beragama pada orang dewasa dan usia lanjut
b.      Perlunya mengetahui Kriteria-kriteria kesadaran dan kematangan beragama pada orang dewasa dan usia lanjut

C. Tujuan
a.       Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Psikologi Agama
b.      Agar kita dapat menyikapi / mengambil tindakan bagaimana menghargai dan menumbuhkembangkan rasa keberagamaan terhadap orang dewasa dan usia lanjut
c.       Untuk menambah Pengetahuan khususnya bagi kami sebagai penulis dan umumnya bagi kita semua. 


BAB II
PEMBAHASAN

PERKEMBANGAN RASA KESADARAN DAN KEMATANGAN BERAGAMA PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT


1. Macam-Macam Kebutuhan
Menurut J.P. Guilford, terdiri dari:
1. Kebutuhan individual
Pada kebutuhan individual ini semuanya berhubungan dengan kebutuhan jasmani. Kebutuhan ini bergantung pada diri seseorang. Bagaimana dia merawat dan menjaga keseimbangan tubuhnya dalam kehidupannya. Kebutuhan invidual ini terdiri dari:
Ø  Homeotatis (kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan tubuh akan zat; protein, air, garam, mineral, vitamin, oksigen dan lainnya.
Ø  Regulasi temperature, penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperature badan. Pusat pengaturannya berada di bagian otak yang disbut Hypothalsum.
Ø  Tidur, kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar dari gejala halusinasi.
Ø  Lapar, kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh seperti organis.
Ø  Seks, kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan mempertahankan jenis.

2. Kebutuhan Sosial
Kebutuhan social manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulas) seperti layaknya pada binatang. Kebutuhan social pada manusia berbentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan semata-mata kebutuhan biologis melainkan juga kebutuhan rohaniah. Bentuk kebutuhan ini terdirio dari; pujian dan binaan, kekuasaan dan mengalah, pergaulan, imitasi dan simpati, dan perhatian.
3. Kebutuhan Akan Agama
Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Allah membekali manusia itu dengan nikmat berpikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya sebagai imbangan atas rasa takut terhadap kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong manusia tadi untuk untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan membimbingnya disaat-saat yang gawat.[1]
Dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan lainnya, seperti makan, minum, intelek dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu maka dorongan beragama pun menuntut untuk dipenuhi sehingga pribadi anusia itu mendapat kepuasan dan ketenangan. Dorongan beragama juga merupakan kebutuhan insaniah yang tumbuhnya dari gabungan berbagai factor penyebab dari rasa keberagamaan.
Menurut Dr. Zakiah Daradjat, dalam bukunya "Peranan Agama dalam Kesehatan Mental", terdiri dari:
1. Kebutuhan Primer
Yaitu kebutuhan jasmaniah: makan, minum, seks dan sebagainya (kebutuhan ini didapat manusia secara fitrah tanpa dipelajari).
2. Kebutuhan Sekunder
Yaitu kebutuhan rohaniah: Jiwa dan social. Kebutuhan ini hanya terdapat pada manusia dan sudah dirasakan sejak manusia masih kecil.

2. Sikap Keberagamaan Orang Dewasa
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.
Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
- Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
- Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
- Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam system syaraf, perubahan penampilan.
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada usia 60/65 tahun. Usia lanjut dan kematangan merupakan ciri masa akhir orang dewasa. Permasalahan mendasar pada masa ini adalah menemukan kepuasan atas segala hal yang telah dicapai pada hidup yang telah dijalani.
Pada usia lanjut ini, biasanya akan menghadapi berbagai persoalan. Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi atau kurang dihargai.[2]
Karakteristik Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki cirri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.      Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.      Bersikap lebih terbuaka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.      Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan social, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;
1.      Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambildengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
2.      Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
3.      Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.[3]

3. Sikap Keberagamaan Orang Usia Lanjut

Hasil penelitian Neugarten terhadap manusia usia lanjut antara 70-79 tahun menunjukkan 75 persen dari mereka yang dijadikan responden menyatakan puas dengan status mereka sesudah menginjak masa bebas tugas. Sebagian besar mereka menunjukkan aktivitas yang positif dan tidak merasa berada dalam keterasingan dan hanya sedikit yang sudah berada dalam kondisi uzur serta mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, umumnya mereka dihadapkan pada konflik batin antara keutuhan dan keputus-asaan. Karena itu mereka cenderung mengingat sukses masa lalu, sehingga umumnya mereka yang berada pada tingkat usia lanjut ini senang membantu para remaja yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, termasuk sosial keagamaan. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. M. Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Cavan yang mempelajari 1200 orang sampel berusia antara 60-100 tahun. Temuan menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini. Sedangkan, pengakuan terhadap realitas kehidupan akhirat baru muncul sampai 100 persen setelah usia 90 tahun.
Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa pendapat tersebut terlalu berlebihan. Sebab hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kegiatan seksual secara biologis boleh jadi sudah tidak ada, akan tetapi kebutuhan unuk dicintai dan mencintai tetap ada pada usia tua tersebut.
Mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini William James menyatakan, bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia tua, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Agaknya pendapat William James masih banyak dijadikan rujukan dalam melihat kehidupan para tokoh-tokoh agamawan seperti biarawan dan biarawati ataupun para biksu, agaknya korelasi tersebut menampakkan hubungan yang positif. Tetapi, menurut Robert Thouless, dari hasil temuan Gofer, memang menunjukkan bahwa kegiatan orang yang belum berumah tangga sedikit lebih banyak dari mereka yang telah berumah tangga, sedangkan kegiatan keagamaan orang yang sudah bercerai, jauh lebih banyak dari keduanya. Temuan ini menurut Thouless menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan berkorelasi terbalik dengan pemenuhan seksual sebagai sesuatu yang diharapkan bila penyimpangan seksual itu benar-benar merupakan salah satu faktor yang mendorong di balik perilaku keagamaan itu. Salah satu bagian yang paling mencolok mengenai hal itu adalah kecenderungan emosi keagamaan yang diekspresikan dalam bahasa cinta manusia. Hal ini sering terdapat di kalangan para penulis mistik.

Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut

Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, seperti dikemukakan di atas bagaimanapun turut memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan mereka. Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:[4]
1.  Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.  Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan .
3.  Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara seungguh-sungguh.
4.  Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.  Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya
6.  Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan yang abadi (akhirat)

Masalah Keberagamaan Pada Orang Usia Lanjut

Beberapa masalah lain tentu saja dialami oleh para manula. Bagi sebagian besar manula memiliki banyak waktu luang dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan dengan waktu luang tersebut dan hanya sebagian kecil manula yang mampu menggunakan waktu luang tersebut dengan baik, bahkan sebagian diantaranya masih produktif. Kebanyakan waktu luang tanpa pemanfaatan membuat para manula merasa sebagai manusia tidak berguna dan merasa hidupnya tidak bermanfaat, kecewa, depresi, dan rendah diri.[5]
Masalah lain yang dihadapi manula adalah kritikan akan keinginan-keinginan, dan cara mereka dalam banyak hal (bekerja, bergaul, berpakaian). Bagi manula yang tidak memiliki kepribadian yang tangguh, kritikan-kritikan ini akan menjadi penghalang bagi kemajuan mereka, dan membuat mereka semakin tenggelam dalam kekecewaan.
Keadaan yang lebih buruk akan dialami manula yang kemudian berusaha menghapus semua perasaan dan keinginan-keinginannya, karena selama ini perasaan dan keinginan-keinginan itu tidak pernah ditanggapi. Ini akan mengakibatkan depresi dan menghasilkan perilaku-perilaku yang defensif yang berlebihan, misalnya bereaksi secara berlebihan menentang perilaku yang mereka rasa tidak adil.
Seharusnya saat manusia-manusia menjadi lanjut usia, mereka harus dan tetap memiliki peluang untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan mereka, namun hal sebaliknya yang terjadi di masyarakat (terutama Indonesia). Hal ini sangat disayangkan, karena bila mereka tetap diberi ruang dan peluang mereka akan tetap mampu mengembangkan kepribadian dan kemampuan mereka, yang pada akhirnya akan menjadikan hidup mereka lebih sehat (fisik dan psikis) dan lebih bahagia.
Persoalan pensiun yang akan dialami dalam masa tua, merupakan daerah lain yang menuntut persiapan sejak masa dewasa, khususnya setengah baya. Beberapa persoalan yang dihadapi oleh setengah baya akhir atau masa tua karena tidak lagi bekerja meliputi meningkatnya hambatan-hambatan fisik, rasa kesepian, kurangnya kontak sosial, rasa jemu, dan lesu kerja atau tidak aktif, hal itu sangat menyakitkan bagi orang-orang yang biasa bekerja. Tambahan pula keadaan-keadaan tadi tidak jarang meningkat menjadi perasaan tidak berguna, sudah tidak berarti lagi dalam hidup.
Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan, beberapa keluarga juga mengadakan program khusus bagi orang-orang tua mereka yang mendekati masa setengah baya. Dalam hal ini, anak-anak yang “ telah jadi orang” dapat membuat rencana bagi ayah-ibu mereka yang akan memasuki masa tua sehigga mereka dapat menyongsong masa tua dengan penuh ketenangan. Rencana-rencana keluarga itu dapat berupa kegiatan-kegiatan yang diatur oleh anak-anak itu sendiri, atau dapat juga kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu lembaga, apabila mereka mampu membiayainya. Misalnya dengan memasukkan orang tua mereka dalam lembaga atau yayasan penyantunan orang-orang lanjut usia.
Ketakutan akan menjadi tua dan kematian tidak dihadapi oleh para manula yang yakin ketuaan dan kematian pasti akan datang. Hal ini biasanya dialami oleh mereka yang dari usia dini atau setidaknya saat usia muda telah tertanam jiwa keagamaan yang baik. Para manula dalam kategori ini bahkan melakukan persiapan yang matang dalam upaya “kembali pada Tuhan.[6]

4. Perlakuan Terhadap Orang Usia Lanjut Menurut Islam

Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut dibebankan kepada anak-anak merek, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntunan Islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih sayang.
Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang tua, Allah menyatakan:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. Al-Israa’ (17): 23)
Abi Raja’ Al-Athady menyatakan bahwa yang dimaksud dengan uff (ah) adalah perkataan yang keji dan buruk. Uff adalah perkataan yang biasanya diucapkan bagi sesuatu yang ditolak. Menurut Thoha Abdullah Al-Afifi, jika ada perkataan yang lebih buruk dari uff tentulah Allah menyebutkannya. Dan para ulama berpendapat bahwa perkataan uff kepada ibu bapak adalah sesuatu yang paling buruk. Ini menandakan bahwa anak menolak mereka.
Selanjutnya, Al-Quran melukiskan perlakuan terhadap kedua orang tua:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".” (QS. Al-Israa’ (17): 24).
Menurut Ibn Jarir dan Ibn Al-Munzir yang dimaksud dengan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan adalah tunduk kepada kedua orang tua sebagaiman tunduknya kepada tuannya. Pengertian itu memberi kiasan bagaimana seharusnya seorang anak bersikap di hadapan orang tuanya.
Sebagai gambaran tentang hal itu adalah pernyataan Aisyah ra. Tentang bagaimana perilaku anak kepada orang tua, adalah dialog Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah yang bersamamu?” Orang itu menjawab: “Ayahku”. Beliau berkata: “Jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”.
Selanjutnya firman Allah yang menyatakan:
“Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".”
Adalah agar anak memberi perlakuan khusus dengan menghayati bagaimana kedua orang tua mengasihi anak mereka sewaktu masih kecil. Melalui penghayatan yang demikian manusia diingatkan kepada kasih sayang dan susah payah kedua orang tuanya ketika mereka memeliharanya di waktu kecil. Dengan demikian, diharapkan kasih sayang kepada kedua orang tua akan bertambah.
Perlakuan kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai kewajiban agama. Menurut Ibn Abbas, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Barangsiapa membuat ridha kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun mendapat dua pintu surga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah satu di antaranya maka akan terbuka satu pintu surga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat marah kedua orang tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika membuat marah salah satu di antaranya, maka terbuka untuknya satu pintu neraka.”
Bahkan ketika mendengar seorang tua mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati mengadukan bahwa ayahnya mengambil harta miliknya, maka rasul pun bersabda: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.”
Islam mengajarkan bahwa dalam perkembangannya, manusia mengalami penurunan kemampuan sejalan dengan pertambahan usia mereka
“Dan barangsiapa yang kami panjangkan umurnya niscaya kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (QS. Yaasin (36): 68)
Bahwa maksud kami kembalikan kepada kejadiannya, yaitu dikembalikan kepada keadaan manusia ketika ia baru dilahirkan, yaitu lemah fisik dan kurang akal. Menurut As-Shobuny, yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah, bila manusia dipanjangkan umurnya ke usia lanjut, maka ia akan kembali menjadi seperti bayi, yaitu tidak mengetahui sesuatu pun. Watadah juga berpendapat senada, yaitu manusia usia lanjut itu layaknya seorang bayi yang kekuatannya menjadi melemah, hanya secara fisik saja terlihat lebih besar dari bayi.
Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih saying. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun, melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan dipandang durhaka bila seorang anak tega menempatkan orang tuanya di tempat penampungan atau panti jompo. Alasan apa pun tak dapat diterima bagi perlakuan itu.[7]
5. Kriteria Orang yang Matang dalam Beragama
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu.
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap.
Ø  Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
Ø  Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
Ø  Menyenagi paham yang ortodoks.
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya Religion Psychology adalah:
- Optimis dan Gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
- Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.[8]
- Menyenagi Ajaran Ketauhidan yang Liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung;
1. Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kakuk
2. Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3. Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.





















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan jiwa beragama pada masa dewasa.
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, seperti dikemukakan di atas bagaimanapun turut memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan mereka. Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.  Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.  Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan .
3.  Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara seungguh-sungguh.
4.  Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.  Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya
6.  Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan yang abadi (akhirat)
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari masih terdapat kekurangan, kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan dating.


















DAFTAR PUSTAKA

Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, Surabaya: Usaha Nasional, 1983.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Suprayetno, Psikologi Agama, Bandung: Cita Pustaka Media, 2009.
Suprayetno, Psikologi Agama, Bandung: Cita Pustaka Media, 2009.
Sururin. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.





































KATA PENGANTAR

          Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mengenai PERKEMBANGAN RASA KESADARAN DAN KEMATANGAN BERAGAMA PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT, pada materi Psikologi Agama.

Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan jiwa beragama pada masa dewasa.
            Dan dalam hal ini kami berusaha menyajikan yang terbaik sesuai dengan Komitmen kami. Namun dengan demikian kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang tentunya akan sangat berharga bagi kami untuk penyempurnaan isi dari makalah ini kedepannya.
                                                                           

                                                                             Tembilahan,                        2010
                                                                                                

   KELOMPOK III






[1] Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 105
[2] Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal. 83
[3] Ibid, hlm. 107.

[4] Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, Surabaya: Usaha Nasional, 1983, hlm. 241
[5] Ibid, hlm. 242.

[6] Op.cit hlm.108
[7] Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal. 83

[8] ibid